Author: Yuri Ardiana, S.IP
Ancaman pandemi Covid-19 telah membuat konsentrasi masyarakat terpecah. Di tengah kepanikan publik ini, banyak keputusan strategis atas berbagai kebijakan publik diambil tanpa keterlibatan dan partisipasi publik. Transparansi menjadi barang mahal. Banyak elite yang justru berusaha memanfaatkan kelengahan masyarakat untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Termasuk, dalam ” politik legislasi” di parlemen. Di saat masyarakat panik akibat pandemi dan tekanan ekonomi, sejumlah Undang-Undang (UU) yang sangat sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tiba-tiba disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Memang, di tengah pandemi, kerja-kerja politik legislasi harus tetap berjalan untuk memastikan proses politik dan demokrasi tidak terhenti. Namun, perilaku DPR yang terus melanjutkan pembahasan sejumlah RUU kontroversial secara tidak transparan di tengah pandemi ini patut dikritisi. Sayangnya, saran dan kritik publik untuk menunda pembahasan RUU kontroversial hingga situasi membaik justru tidak didengar. Partisipasi masyarakat dalam pembahasan perundang-undangan seolah dinomorduakan, atau bahkan sengaja dihilangkan. Politik legislasi yang seharusnya transparan dan akuntabel, justru seolah sengaja ditarik ke ruang gelap kekuasaan. Produk legislasi sulapan Belum lekang dari memori kita bagaimana RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tiba-tiba muncul untuk membuka kotak pandora terkait ideologi negara dengan mengubah Pancasila. RUU ini seolah sengaja diselundupkan untuk menciptakan mesin hegemoni politik mempertahankan kekuasaan dan menggebuk mereka yang berbeda dengan penguasa. Selain itu, RUU Minerba juga menjadi contoh lain yang patut dicermati. Terbentuknya UU Nomor 3 Tahun 2020 ini jelas cacat konstitusi. Karena, proses perumusan UU Minerba ini tidak transparan dan menyalahi ketentuan perundang-undangan. Pada saat masih berbentuk RUU, UU Minerba ini tidak memenuhi kriteria carry over atau keberlanjutan pembahasan ke DPR periode berikutnya. Dalam pembahasannya, tidak ada pula keterlibatan DPD RI.
DPD RI mendapat kewenangan dari konstitusi bahwa setiap RUU di bidang sumber daya alam mesti ada peran DPD RI dalam penyusunan dan pembahasannya. Kenyataannya, tidak ada DIM yang dibuat oleh DPD sepanjang pembahasan RUU Minerba. Pembahasa RUU Minerba ini juga tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder secara luas, termasuk pemerintah daerah dan BUMN. Bahkan, UU Minerba ini juga telah memberangus prinsip-prinsip demokrasi. UU Minerba ini telah memilih langkah “sentralisasi kekuasaan” atau menarik kembali kewenangan pemerintah daerah ke tangan pemerintah pusat, atas nama efektivitas kerja pemerintahan dan reformasi birokrasi. Kewenangan pemerintah daerah dalam urusan tambang menjadi hilang. Akibatnya, masa depan bisnis tambang nasional akan begitu mudah diintervensi dan dikendalikan oleh deal-deal kepentingan sempit para elite politik, pemerintahan, dan pelaku bisnis, sehingga mengokohkan patronase dan jaringan oligarki di Tanah Air. Selain itu, masyarakat juga dikagetkan dengan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja atau sebagian orang menyebutnya RUU ‘Cilaka’.
Meski menuai perdebatan dan kritik dari berbagai pihak, “pembahasan secara diam-diam” RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tetap berlanjut karena pimpinan DPR bersikukuh mendorong terbitnya RUU ini dan menyepakati dilanjutkan pembahasannya ke Badan Legislasi. DPR dan pemerintah seolah memanfaatkan kelengahan masyarakat sipil. Padahal, RUU ini akan memiliki implikasi fundamental terhadap perubahan regulasi mulai dari penanaman modal, aturan pertanahan, perpajakan, kehutanan, hingga nasib buruh atau tenaga kerja nasional. Ke depan, masyarakat juga harus bersiap-siap untuk dikejutkan lagi oleh kerja-kerja sulap DPR yang siap merevisi UU Bank Indonesia (BI) dan UU Mahkamah Konstitusi (MK), yang berpotensi memangkas independensi dan kewenangan lembaga-lembaga negara tersebut. Ujian kenegarawanan dan sensitivitas elite Pembahasan RUU yang tidak melibatkan masyarakat dan lembaga-lembaga terkait, hakekatnya cacat prosedur dan hampir pasti bertentangan dengan aspirasi masyarakat di akar rumput. DPR adalah perwujudan kedaulatan rakyat. Sehingga, fungsi dan peran DPR harus mewakili dan merepresentasikan kepentingan rakyat, utamanya di tengah kesulitan rakyat saat ini.
Ditambah lagi, melihat perjuangan para petugas medis, menghadapi Covid-19, sesungguhnya ujian kenegarawanan dan sensitivitas elite politik di DPR sangat diuji pada masa saat ini.
Untuk menghadapi fenomena ini, kekuatan civil society harus bangkit dan bersatu melawan praktik “sabotase politik legislasi” ini. Ke depan, perhatian dan konsentrasi pemerintah dan DPR sebaiknya difokuskan pada upaya penanganan pandemi dan tekanan ekonomi yang dampaknya semakin dirasakan masyarakat di akar rumput.
Gelombang pengangguran bermunculan. Tingkat kemiskinan dan kesenjangan semakin meningkat tajam. DPR dan pemerintah seharusnya lebih sensitif dan fokus pada tugas utama tersebut.
Jangan menghabiskan energi untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan penyelamatan rakyat akibat ancaman pandemi dan tekanan ekonomi.
Untuk mengefektifkan upaya ini, kekuatan masyarakat sipil harus berkomunikasi dengan elemen kekuatan politik di parlemen yang memiliki kesadaran dan cara pandang yang sama.
Sejumlah partai politik yang belakangan ini mencoba untuk bersikap rasional, bisa menjadi alternatif yang baik untuk membangun kesepahaman.
Jika upaya ini tidak dilakukan, pembajakan otoritas atau kewenangan politik legislasi akan terus terjadi ke depan.
Jika tidak ada koreksi, perangkat-perangkat demokrasi berpotensi dikendalikan oleh jaringan kepentingan sempit untuk mengegolkan sejumlah aturan perundang-undangan yang menggadaikan kekayaan alam, marwah, dan kewibawaan bangsa dan negara.
==
This article has been published in Kompas.com titled “Awas, Sabotase “Politik Legislasi” di Era Pandemi!”,
Original article: https://nasional.kompas.com/read/2020/09/03/15483771/awas-sabotase-politik-legislasi-di-era-pandemi.
[JDP]
Leave A Comment